Selasa, 20 Oktober 2015

Satelit Pemburu Karbon

  

Polusi ?? Isu yang sudah lama menjadi momok yang menakutkan bagi kehidupan generasi kita selanjutnya tapi sudahkah kita menyadari dampaknya....


Coba  dibayangkan  saja  setiap  kali  menyalakan  mesin  mobil sebelum berangkat bekerja, dan hitunglah berapa banyak emisi karbon  dioksida  yang  di  keluarkan  bila  rata-rata  emisi  CO2 sebuah  kendaraan baru 140 gram per kilometer.  Emisi  karbon dioksida yang dilepas ke udara semakin berlipat ganda bila kita mengebut.  Emisi  CO2  tiap  kilometer  yang  dikeluarkan  sebuah kendaraan  yang  berjalan  200  kilometer  per  jam  (km/jam) mencapai dua setengah kali lipat emisi kendaraan serupa yang melaju pada kecepatan 130 km/jam.

Hal  ini  masih  diperburuk  lagi  dengan  pembakaran  material organik  dalam  bahan  bakar  fosil,  seperti bensin  dan  solarmenghasilkan energi serta melepas karbon dioksida dan senyawa lain ke atmosfer. Gas rumah kaca, seperti CO2 ini, akan memerangkap panas di atmosfer serta menghangatkan dan mengganggu iklim bumi.

Kondisi  ini  membawa kita  pada suatu  kesimpulan  bersama bahwa  aktivitas  manusia  telah  menjadi sumber utama kenaikan kadar karbon dioksida di atmosfer sejak dimulainya masa bahan bakar fosil pada 1860-an. Sekitar 85 persen emisi CO2 yang dihasilkan manusia berasal dari pembakaran bahan bakar fosil, seperti batu bara, gas alam, dan minyak bumi. Sisanya dari pembukaan hutan dan proses industri. Penggunaan bahan bakar fosil meningkat dengan cepat, terutama sejak Perang Dunia II, dan terus bertambah secara eksponensial. Bahkan lebih dari separuh bahan bakar fosil yang digunakan manusia selama ini dikonsumsi dalam 20 tahun terakhir.

Kita harus mengakui bahwa aktivitas manusia menambah karbon ke atmosfer rata-rata 1,4 metrik ton karbon  per  orang  per  tahun  di  seluruh  dunia.  Sebelum  masa  industrialisasi,  konsentrasi  karbon dioksida  di  atmosfer  sekitar  280  parts  per  million  (ppm).  Pada  1958,  konsentrasi  CO2  meningkat sekitar 315 ppm, dan pada 2007 angka  itu naik menjadi  383 ppm.  Kenaikan ini nyaris seluruhnya berasal dari aktivitas manusia.

Para ilmuwan didunia sudah  sanggup mengukur dengan akurat jumlah karbon dioksida di atmosfer, tapi  proses  yang  mengatur  konsentrasinya  di  atmosfer  masih  menjadi  misteri.  Mereka  juga  belum mengetahui persis dari mana seluruh CO2 di atmosfer itu berasal dan ke mana mereka pergi.

Berangkat dari pemikiran mendasar tersebutlah Orbital Carbon Observatory (OCO), satelit baru badan antariksa  Amerika,  NASA,  diluncurkan  untuk  menjawab  persoalan  tersebut.  Satelit  ini  diluncurkan tanggal   23  Februari  tahun  ini   menggunakan  roket Taurus  XL  dari  Vendenberg  Air  Force  Base  di California,  para  ilmuwan  bisa  mempelajari  magnitude  dan  distribusi  sumber  CO2  dan  tempatnya mengendap. Satelit  ini          secara  khusus  didedikasikan  untuk  memetakan  karbon  dioksida,"  kata  peneliti  utama NASA,  David Crisp.  Tujuan misi  OCO adalah membuat penaksiran  yang  sedemikian  tepat sehingga dapat digunakan untuk mencari sumber dan "gudang penyimpanan" CO2.

Dengan  adanya Satelit  ini,  akan  memberikan  Informasi  untuk  memperbaiki  prediksi  kenaikan CO2 atmosfer ketika penggunaan bahan bakar fosil dan aktivitas manusia terus berlanjut. Ini amat krusial untuk  memahami  dampak  aktivitas  manusia  terhadap  iklim  dan  mengevaluasi  opsi  mitigasi  atau beradaptasi terhadap perubahan iklim.

Misi utama satelit OCO memungkinkan para ilmuwan, untuk pertama kalinya, mencatat ukuran harian CO2, lebih dari 100 ribu perhitungan dari seluruh dunia setiap hari. Data baru ini akan memberikan wawasan baru yang amat berharga tentang dari mana gas rumah kaca itu berasal dan di mana ia disimpan.  Instrumen  OCO  yang  amat  sensitif  akan  mengukur  distribusi  CO2,  membawa  informasi contoh  dari  seluruh  dunia  dari  orbitnya  di  antariksa.  Meski  instrumen  ini  tidak  secara  langsung mengukur emisi  CO2  dari  setiap  cerobong  asap  atau  kebakaran  hutan  yang  terjadi,  para  ilmuwan dapat menggabungkan pengukuran konsentrasi CO2 yang bervariasi dari seluruh dunia yang diukur oleh satelit itu ke dalam pemodelan komputer.

Dengan Model inilah   akan menyimpulkan di mana dan kapan sebuah sumber mengeluarkan karbon dioksida  ke  atmosfer.  "Data  Orbiting  Carbon  Observatory  ini  berbeda  dari  data  misi  lain  seperti instrumen Atmospheric Infrared Sounder pada satelit Aqua NASA karena memiliki pengukuran jejak yang  relatif  kecil,"  kata  Kevin  Gurney,  direktur  di  Climate  Change  Research  Center  di  Purdue University di West Lafayette. "Misi ini melakukan penghitungan skala kecil, seperti kota kecil sampai sedang, bukan mengukur karbon dioksida yang dikeluarkan sebuah negara."

Dengan pengukuran skala kecil ini memungkinkan para ilmuwan membedakan pergerakan CO2 dari sumber alami dengan gas  yang  berasal  dari aktivitas  bahan  bakar fosil secara akurat.  Pengukuran yang dijamin akurat ini tak lepas dari tiga spektrometer beresolusi tinggi canggih OCO yang mampu menyebar  cahaya  matahari  yang  direfleksikan  permukaan  bumi  menjadi  beragam  warna.  "Dengan menganalisis  spektrum  warna  ini,  para  ilmuwan  dapat  mendeteksi  gas  apa  yang  terdapat  dalam atmosfer bumi dan menghitung jumlahnya," kata Alan Buis, juru bicara Jet Propulsion Laboratory, di Pasadena, California.

Data Spektrometer ini secara spesifik diatur untuk mengukur jumlah refleksi cahaya matahari yang diserap oleh karbon dioksida dan molekul oksigen. "Pengukuran ini akan dianalisis untuk memperoleh perkiraan karbon dioksida atmosfer di atas wilayah di permukaan bumi seluas 1.000 kilometer persegi tiap  bulan  dengan  akurasi  0,3-0,5  persen,"  katanya.  "Para  ilmuwan  dapat  menganalisis  data  ini menggunakan  model  transportasi  kimia  atmosfer  global,  sama  dengan  yang  digunakan  untuk memprediksi cuaca."





Sumber : www. oco.jpl.nasa.gov