Polusi ?? Isu yang sudah lama menjadi momok yang menakutkan bagi kehidupan generasi kita selanjutnya tapi sudahkah kita menyadari dampaknya....
Coba dibayangkan
saja setiap kali
menyalakan
mesin mobil
sebelum berangkat bekerja, dan hitunglah berapa banyak emisi karbon dioksida yang
di
keluarkan
bila rata-rata
emisi CO2
sebuah kendaraan baru 140 gram per kilometer. Emisi karbon
dioksida yang dilepas ke udara semakin berlipat ganda bila kita mengebut.
Emisi CO2 tiap kilometer
yang dikeluarkan
sebuah
kendaraan yang berjalan
200
kilometer
per
jam (km/jam)
mencapai dua setengah kali lipat emisi kendaraan serupa yang melaju pada kecepatan 130 km/jam.
Hal ini masih diperburuk
lagi
dengan
pembakaran material organik dalam bahan
bakar
fosil,
seperti bensin dan solar, menghasilkan energi serta melepas karbon dioksida dan senyawa lain ke atmosfer. Gas rumah kaca, seperti CO2 ini, akan memerangkap panas di atmosfer serta menghangatkan dan mengganggu iklim bumi.
Kondisi
ini membawa kita pada suatu
kesimpulan bersama bahwa
aktivitas manusia telah
menjadi sumber utama kenaikan kadar karbon dioksida di atmosfer sejak dimulainya masa bahan bakar fosil pada 1860-an. Sekitar 85 persen emisi CO2 yang dihasilkan manusia berasal dari pembakaran bahan
bakar fosil, seperti batu bara, gas alam, dan minyak bumi. Sisanya dari pembukaan hutan dan proses industri. Penggunaan bahan bakar fosil meningkat dengan cepat, terutama sejak Perang Dunia II, dan terus bertambah secara eksponensial. Bahkan lebih dari separuh bahan bakar fosil yang digunakan
manusia selama ini dikonsumsi
dalam 20 tahun terakhir.
Kita harus
mengakui bahwa aktivitas manusia menambah karbon ke atmosfer rata-rata 1,4 metrik ton karbon per orang
per
tahun di seluruh dunia.
Sebelum masa
industrialisasi, konsentrasi karbon dioksida di atmosfer
sekitar
280
parts
per
million
(ppm).
Pada 1958,
konsentrasi CO2 meningkat sekitar 315 ppm, dan pada 2007 angka
itu naik menjadi 383 ppm. Kenaikan ini nyaris seluruhnya berasal dari
aktivitas manusia.
Para ilmuwan didunia sudah
sanggup mengukur dengan akurat jumlah karbon dioksida di atmosfer,
tapi proses
yang mengatur konsentrasinya
di
atmosfer masih menjadi misteri.
Mereka
juga belum mengetahui persis dari mana seluruh CO2 di atmosfer itu berasal
dan
ke mana mereka pergi.
Berangkat dari pemikiran mendasar tersebutlah Orbital Carbon Observatory (OCO), satelit baru badan antariksa Amerika, NASA, diluncurkan
untuk menjawab persoalan
tersebut. Satelit ini
diluncurkan tanggal 23 Februari
tahun
ini menggunakan
roket Taurus
XL
dari
Vendenberg Air
Force
Base di California, para
ilmuwan
bisa mempelajari
magnitude
dan
distribusi sumber
CO2
dan
tempatnya mengendap.
Satelit ini secara
khusus didedikasikan
untuk memetakan
karbon
dioksida," kata peneliti utama
NASA, David Crisp.
Tujuan misi OCO
adalah membuat penaksiran yang
sedemikian tepat
sehingga dapat digunakan untuk mencari sumber dan "gudang penyimpanan" CO2.
Dengan adanya
Satelit ini, akan memberikan Informasi
untuk memperbaiki prediksi
kenaikan CO2
atmosfer ketika penggunaan bahan bakar fosil dan aktivitas manusia terus berlanjut. Ini amat krusial untuk memahami dampak
aktivitas
manusia
terhadap iklim
dan
mengevaluasi
opsi mitigasi atau
beradaptasi terhadap perubahan iklim.
Misi utama satelit OCO memungkinkan para ilmuwan,
untuk pertama kalinya, mencatat ukuran harian CO2, lebih dari 100 ribu perhitungan dari seluruh dunia setiap hari. Data baru ini akan memberikan wawasan baru yang amat berharga tentang dari mana gas rumah kaca itu berasal dan di mana ia disimpan. Instrumen
OCO
yang amat
sensitif
akan mengukur
distribusi
CO2, membawa
informasi contoh
dari
seluruh dunia
dari
orbitnya di antariksa.
Meski instrumen ini
tidak secara
langsung
mengukur emisi CO2
dari
setiap
cerobong asap atau kebakaran hutan
yang terjadi, para
ilmuwan
dapat menggabungkan pengukuran konsentrasi CO2 yang bervariasi dari seluruh dunia yang diukur oleh satelit itu ke dalam pemodelan komputer.
Dengan Model inilah
akan menyimpulkan di mana dan kapan sebuah sumber mengeluarkan karbon
dioksida ke atmosfer.
"Data Orbiting Carbon
Observatory ini
berbeda dari data
misi lain seperti instrumen Atmospheric Infrared Sounder pada satelit Aqua NASA karena memiliki pengukuran jejak yang relatif
kecil,"
kata Kevin
Gurney, direktur
di
Climate
Change Research Center di Purdue
University di West Lafayette. "Misi ini melakukan penghitungan skala kecil, seperti kota kecil sampai
sedang, bukan mengukur karbon dioksida yang dikeluarkan sebuah negara."
Dengan pengukuran skala kecil ini memungkinkan para ilmuwan membedakan pergerakan CO2 dari
sumber alami dengan
gas yang berasal
dari aktivitas bahan
bakar fosil secara akurat. Pengukuran
yang dijamin akurat ini tak lepas dari tiga spektrometer beresolusi tinggi canggih OCO yang mampu menyebar
cahaya
matahari
yang
direfleksikan permukaan bumi
menjadi beragam warna.
"Dengan
menganalisis spektrum warna
ini,
para ilmuwan dapat mendeteksi gas apa yang
terdapat dalam
atmosfer bumi dan menghitung jumlahnya," kata Alan Buis, juru bicara Jet Propulsion Laboratory, di Pasadena, California.
Data Spektrometer ini secara spesifik diatur untuk mengukur jumlah refleksi cahaya matahari yang diserap oleh karbon dioksida dan molekul oksigen. "Pengukuran ini akan dianalisis untuk memperoleh
perkiraan karbon dioksida atmosfer di atas wilayah di permukaan bumi seluas 1.000 kilometer persegi tiap
bulan
dengan akurasi
0,3-0,5
persen," katanya. "Para ilmuwan dapat
menganalisis data
ini menggunakan model
transportasi
kimia
atmosfer
global, sama
dengan
yang digunakan
untuk memprediksi cuaca."
Sumber : www. oco.jpl.nasa.gov